Wednesday, April 14, 2010

REFLEKSI UJIAN NASIONAL DAN PARADIGMA PENDIDIKAN KI HAJAR DEWANTARA

Oleh : Shoim Asy'ari
Dalam dua bulan terakhir ini telah selesai dilaksanakan ujian nasional baik tingkat SMA atau pun SMP diseluruh penjuru negeri ini. Dalam perjalanan pendidikan Indonesia pelaksanaan ujian nasional sudah berjalan mulai tahun 2003 dan itu berlansung sampai sekarang tahun 2010, pelaksanaan ujian nasional dalam penentuan standart kompetensi lulusan selalu mengalami peningkatan mulai dari 4,0 sampai sekarang standart itu menjadi 5,5 dari semua pelajaran, jika salah satu dari pelajaran nasional tersebut kurang dari pelajaran yang lain harus lebih tinggi dibandingkan dengan pelajaran lain agar hasil rata-ratanya tidak kurang dari standart kompentensi lulusan yang telah ditentukan , jika standart tersebut tidak dapat tercapai maka siswa yang telah bersekolah selama 3 tahun tidak akan lulus dan harus menuggu satu tahun lagi untuk mengikuti ujian, kebijakan itu berlaku untuk tahun 2009. Tetapi untuk 2010 kebijakan agak melunak, yaitu jika siswa pada ujian nasional tidak lulus maka dapa mengikuti ujian ulang atau jika mereka dalam ujian ulang mereka tidak lulus maka harus mengikuti ujian kesetaraan yang notabenya adalah sekolah kesetaraan atau biasa disebut kejar paket.

Selama 7 tahun perjalanan ujian nasional dengan menggunakan standard kompetensi lulusan masih banyak dipertanyakan keefektifannya. Apakah dengan UAN dapat menghasilkan kompetensi sumber daya manusia yang diharapkan? Apakah dengan UAN dapat melatih kejujuran dari siswa dan penyelenggara pendidikan? Apakah kemampuan siswa yang berada dikota dengan didesa sama, dimana dari segi fasiltas, latar belakang tenaga pendidik juga jauh berbeda dibanding dengan yang berada dikota yang memiliki fasilitas lengkap? Apakah UAN dapat mencetak generasi yang berbudaya dan bermartabat? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu timbul dari banyak kalangan dalam menanggapi ujian nasional tersebut.
Dari kalangan birokarasi (pemerintah) yang telah membuat kebijakan tersebut berpendapat bahwa dengan adanya ujian itulah kita dapat melihat kempuan lulusan dan dapat bersaing dengan pendidikan luar negeri yang notabenya mereka lebih maju dimata kita. Dan dengan pembuatan kurikulum yang terus diperbaharui mulai dari kurikulm 1994, kemudian kurikulum KBK dan yang terakhir adalah kurikulum satuan pendidikan (KTSP) dimana kurikulum ini mengedepankandalam pengambilan materi memberikan penghargaan terhadap struktur bangunan lokal, mulai dari budaya, social dll. Cara-cara tersebut dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan dalam menyiapkan sumber daya manusia yang bermutu sesuai dengan harapan bangsa.


Tetapi kalau kita mau melihat dengan bijak dari hasil ujian nasional yang telah dilaksanakan, maka kita perlu mengkaji ulang pelaksanaan ujian tersebut. Sebab, pelaksanaan ujian yang hanya sebagai satu-satunya faktor penentu kelulusan siswa dalam belajar dan mengabaikan faktor lain dalam menentukan kelulusan siswa. Kenapa penulis dapat mengatakan bahwa ujian nasionala yang kemudian disebut UAN ini hanya satu-satunya? Sebab banyak bukti yang telah dihasilkan dari ujian nasional, salah dari bukti tersebut adalah siswa yang mempunyai kelebihan dibidang kesenian, ataupun dibidang olah raga sehingga mereka dapat berprestasi dibidangnya tersebut tetapi mereka sangat lemah disalah satu dibidang yang telah dujiankan yaitu matematika,dan IPA,sehingga nilai rata-rata yang didapat kurang dari SKL (standart kompetensi lulusan). Hal ini yang dikatakan penulis UAN hanya melihat dari satu sisi tanpa mau melihat dari kelebihan lain yang siswa tersebut.
Kemudian hal yang sangat perlu dikhawatirkan oleh Negeri ini adalah akhlak dari generasi kedepan. Dari setiap pelaksanaan ujian selama ini, tidak terlepas dari faktor kebocoran soal, dan ini dilakukan oleh oknum dinas,oknum guru dan siswa sendiri. dalam pelaksanaan ujian tahun ini ada oknum kepala sekolah sebanyak 16 kepala sekolah yang tertangkap basah oleh polisi sedang membocorkan kunci jawaban UAN. Hal ini membuktikan bahwa pelaksanaan ujian telah menghasilkan para generasi yang tidak memiliki kepribadian yang baik dan tidak jujur. kalau kejadian seperti diatas sudah terjadi dan itu dibiarkan berlangsung sampai hari ini, maka Negara ini akan mengalami sebuah degradasi moral, yang sudah disiapkan oleh pemerintah dengan kebijakan yang kurang tepat dan cenderung tumpang tindih.
Dalam menanamkan paradigma pendidikan pemerintah telah sedikit melenceng dari apa yang telah dibangun oleh pendahulu kita, salah satunya yaitu Ki Hajar Dewantara. Beliau pendidik asli Indonesia, yang melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.
Keberadaan manusia pada zaman ini seringkali diukur dari "to have" (apa saja materi yang dimilikinya) dan “to do” (apa saja yang telah berhasil/tidak berhasil dilakukannya) daripada keberadaan pribadi yang bersangkutan (“to be” atau “being”nya). Dalam pendidikan perlu ditanamkan sejak dini bahwa keberadaan seorang pribadi, jauh lebih penting dan tentu tidak persis sama dengan apa yang menjadi miliknya dan apa yang telah dilakukannya. Sebab manusia tidak sekedar pemilik kekayaan dan juga menjalankan suatu fungsi tertentu. Pendidikan yang humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang (menurut Ki Hajar Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif)). Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand !”
Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda. Dalam masalah kebudayaan berlaku pepatah:”Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.” Manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri. Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai manusia itu sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya.
Ki hajar dewantara telah menanamkan kepada bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia, artinya bahwa pendidikan melihatnya dari semua aspek yaitu daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif). Dan tidak dari aspek intelektual saja.
Akhirnya kita perlu dapat mengkaji apakah ujian sudah memenuhi ketiga aspek tersebut? Dan kita menyadari bahwa tujuan awal dari pendidikan adalah memanusiakan manusia muda. Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh di masyarakatnya, yang bertanggung jawab atas hidup sendiri dan orang lain, yang berwatak luhur dan berkepribadian yang baik.
Penulis berharap adanya gagasan yang mendobrak dunia pendidikan untuk lebih transformatif...bukan hanya membuat mereka menjadi robot-robot globalisasi..Semoga!amin…




No comments: