Monday, September 9, 2019

KELANGKAAN BUDAYA BERBAHASA KROMO INGGIL GENERASI MUDA JAWA


Oleh : Shoim  As'ari
Bahasa jawa, dulu waktu saya masih kecil selalu diajari orangtua saya untuk selalu menggunakan bahasa jawa halus (boso kromo inggil). setiap kali saya salah dalam menggunakannya pasti mereka selalu mengingatkan saya untuk boso. Ada tempat sendiri dalam penggunaan bahasa jawa, bahasa untuk orang yang lebih tua dari kita dan orang yang setara kita atau teman kita. contoh kata kamu dalam bahasa jawa kata itu akan berbeda jika kita gunakan kepada orang yang setara dengan kita yaitu sampeyan atau awakmu dan jika gunakan kepada orang yang lebih tua dari kita maka kata itu akan menjadi panjenengan. Dan itu sangat bertolak belakang dengan bahasa Indonesia sendiri yang banyak mengadopsi bahasa melayu dan dalam penggunaannya tidak membedakan antara orang yang lebih tua dan setara.
Dalam bahasa jawa sangatlah kaya akan sebuah makna dan bahasa jawa sangat mencerminkan watak dari seseorang yang menggunakanya. Jika seseorang yang dapat menempatkan penggunaan bahasa jawa dengan baik, maka orang itu dapat dipandang sebagai orang yang mempunyai akhlak yang baik di mata orang lain meskipun itu bukan jaminan untuk menilai seseorang. Tetapi hal ini sesuai dengan pepatah jawa “ajineng manungso soko boso” artinya yang kurang lebih bahwa baiknya akhlak seseorang dapat dilihat dari tutur kata.
Bahasa jawa yang merupakan warisan dari nenek moyang kita dan banyak para pengamat mengatakan bahwa bahasa jawa merupakan bahasa ibu, yang telah diajarkan mulai dari kita kecil dan digunakan dalam keseharian kita. Dan bahasa jawa telah membentuk watak dari bangsa kita ini menjadi bangsa yang mempunyai budi pekerti yang luhur. Tetapi pada zaman sekarang bahasa jawa sudah menjadi langka dan hanya sedikit orang yang dapat mngaplikasikannya.
Selama kurang lebih 19 tahun saya hidup didesa, dimana lingkungannya selalu menggunkaan bahasa jawa kromo, meskipun saya sendiri kurang begitu baik dalam penggunaanya. Sempat dalam suatu acara saya disindir sama orang tua saya sendiri, dikarenakan pada waktu itu saya yang sebagai pembawa acara selalu menggunakan bahasa campuran, antara bahasa Indonesia dan jawa. Tetapi itu belum seberapa dari yang saya lami setelah saya hijrah dari kota saya untuk menempuh pendidikan tinggi dikota lain, tepatnya di Kota Malang. Disini saya sangat tercengang ketika ada anak kecil berbicara dengan orang tuanya menggunakan bahasa jawa ngoko atau bahasa jawa yang biasa digunakan untuk sesama temanya dan bukan untuk orang tua. dan lebih herannya lagi kejadian itu tidak dilakukan oleh satu atau dua anak, tetapi hal itu sudah dianggap sebuah kewajaran.
Setelah beberapa waktu timbul dalam benak saya, apa yang sebenarnya terjadi? kepada siapa kesalahan ini harus ditimpakan? apakah orang tua sebagai orang yang pertama kali berkomunikasi dengan anak, atau lingkungan yang membentuk mereka sehingga mereka tidak bisa menempatkan penggunaan bahasa, dimana dia berbicara dengan siapa berbicara? Apakah sekolah yang telah menciptakan ingkungan yang membuat persaingan antara penggunaan bahasa Indonesia dengan bahasa jawa tidak sehat? Atau memang ada sekenario besar dibalik ini semua demi kepentingan kekuasaan dan kapitalisme?
Disini saya mencoba untuk menyampaikan hasil dari apa yang telah menjadi pemikiran Pierre Bourdieu dalam majalah Basis edisi Melawan Pendidikan halaman 15 dan ditulis oleh Haryatmoko. Bahasa dilihat oleh Pierre bukan hanya sebagai alat komunikasi, namun sebagai instrument kekuasaan. Komunikasi merupakan pertukaran bahasa yang berlangsung sebagai kekuasaan simbolis dimana terwujud hubungan kekuatan antara pembicara dan mitra atau lawan bicara dalam suatu komunitas (Pierre, 1982; 14). Hubungan sosial adalah hubungan dominasi yang ditandai oleh interaksi simbolis. Komunikasi melibatkan pengetahuan dan kekuasaan. Maka kapital simbolik yaitu suatu bentuk pengakuan kelompok baik terlembagakan atau tidak, sangat berpengaruh dalam komunikasi sosial. Tidak ada wacana yang hanya dinilai pada dirinya sendiri ; kekayaan formal karya menemukan maknanya dalam kaitannya dengan situasi sosial dimana dihasilkan.
Dominasi simbolis mengandaikan keterlibatan yang didominasi. Bukan hanya karena kepatuhan pasif atau paksaan, bukan pula penerimaan bebas terhadap suatu nilai. Ada suatu bentuk persetujuan terhadap sudut pandang kelompok dominan. Doxa adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan situasi seperti itu. Doxa merupakan sudut pandang penguasa atau yang dominan yang menyatakan diri dan memberlakukan diri sebagai sudut pandang yang universal (1994:129).
Doxa menunjukkan bahwa dalam struktur arena bahasa, distribusi kapital bahasa tidak setara. Ada yang diakui dan diterima gagasan-gagasannya, ada yang tidak memiliki pengaruh sama sekali. Untuk memahami struktur arena bahasa, perlu membedakan kapital bahasa yang diperlukan untuk sekadar berbicara biasa dan sarana ekspresi. Investasi untuk kapital bahasa jenis yang terakhir ini membutuhkan perpustakaan, buku, ketrampilan gramatika , kekayaan khazanah kata yang semuanya itu perlukan untuk produksi wacana tertulis yang pantas diterbitkan atau masuk dalam bahasa resmi (1982:46). Dengan demikian penguasaan bahasa bukan sekadar pelatihan biasa tetapi membutuhkan kelengkapan fasilitas.
Penguasaan bahasa diperoleh melalui familiaritas yang berhubungan dengan faktor penting produksi kompetensi sah, yaitu keluraga dan sekolah. Dalam pelatihan elaborasi, legitimasi dan berlakunya bahasa resmi, sistem sekolah berperan sangat menentukan karena menghasilkan kemiripan yang akan membentuk komunitas menjadi perekat bangsa (1982:32). Bourdie, dengan mengutip Humbolt, menegaskan bahwa bahasa tidak menopang tindak pengajaran disekolah sebagai instrumen intregasi intelektual dan moral serta kepribadian seseorang. Peran guru disekolah ialah membantu peserta didik belajar berbicara atau menulis yang berarti juga mengajari berfikir, kemampuan mengungkap gagasan dan emosi melalui bahasa, maka tidak mengherankan sekolah merupakan akses ke posisi-posisi administratif. Guru mengajari murid tidak mulai dari nol, tetapi masing-masing peserta didik sudah membawa habitus bahasa dari keluarga.
Pertukaran bahasa dkeluarga sangat penting karena mengusulkan mimesis praktik bicara dan melatih diri dengan mnghadapi sanksi sosial sebagai persiapan dalam penggunaan resmi bahasa. Habitus dari pasar bahasa (diawal kehidupan: keluarga dan sekolah) karena menjadi syarat perolehan dan penggunaannya. Orang belajar berbicara bukan hanya dengan mendengar, namun dengan berbicara. Jadi habitus yang berkembang didalam keluarga akan menawarkan suatu wacana tertentu kepada pasar. Hubungan dalam beragam pasar dan pengalaman menghadapi sanksi menjadi jembatan yang membentuk rasa nilai sosial diri (malu, leluasa, percaya diri) yang mengarahkan hubungan praktis dengan pasar yang semakin hari semakin beragam.
Pendidikan yang menentukan konstruksi habitus ditularkan tanpa melalui bahasa langsung atau dengan kesadaran penuh, tetapi melalui ajakan pernah terpateri dalam aspek-aspek yang kelihatanya tidak berarti, melalui situasi atau praktik yang biasa sekali. Pengakuan legitimasi bahasa resmi terpateri pada praktik yang didisposisi. Biasanya ditamankan dengan cara yang sangat halus (tak terasa) melalui proses perolehan yang panjang. Pasar bahasa memberikan sanksi yang diikuti penyesuaian tanpa tekanan atau perhitungan sinis, tapi menjanjikan kepada pemegang kapital bahasa keuntungan materi simbolis.
Disini dalam pertarungan simbol berbahasa, bahasa jawa telah masuk dalam ranah yang sangat mengkhawatirkan dalam pertarungan simbol bahasa tersebut. Hal tersebut disebabkan beberapa hal, salah satu hal yang menyebabkan itu adalah faktor kapital yang tidak dimilki oleh bahasa jawa dan tidak begitu menguntungkan bagi kelompok-kelompok kapitalisme.
Kita harus mengakui bahwa kita lebih bangga menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa inggris dalam komunikasi sehari-hari meskipun bahasa tersebut juga sangat penting sebagai sarana komunikasi antar kelompok, suku, bangsa dan Negara. Tetapi alangkah bijaksananya jika kita sebagai generasi penerus budaya bangsa dapat melestarikan budaya kita sendiri dan juga dapat mengambil budaya baru yang baik. semoga!

No comments: